Selasa, 28 Februari 2017

REVIEW FILM - CASABLANCA (1942)

IMDB: 8.6/10
ROTTEN TOMATOES: 97% & 95%
Genre: Drama, Romance, War

Director: Michael Curtiz
Written: Julius J. Epstein, Phillip G. Epstein, Howard Koch (Screenplay)
              Murray Burnett & Joan Alison (Play)
              Casey Robinson (Uncredited)
Cast: Humphrey Bogart - Rick Blaine
          Ingrid Bergman - Ilsa Lund
          Paul Henreid - Victor Laszlo
          Claude Rains - Captai Louis Renault
          Conrad Veidt - Major Heinrich Strasser
          Sydney Greenstreet - Signor Ferrari
          Peter Lore - Ugarte
          S.Z. Sakall - Carl
          Madeleine Lebeau - Yvonne
          Dooley Wilson - Sam
          etc

SAMARINDA - Yup, tak bisa di patahkan lagi bahwa Casablanca adalah masterpiece. Film yang di keluarkan pada tahun 1942 ini sungguh membuat sejarah pergerakan dalam perfilman hollywood kala itu. Film ini bahkan sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Mungkin kalian bertanya, mengapa film ini banyak sekali penulisnya? Usut punya usut, naskah sedahulu film ini di buat bertitel "Everybody's comes to Rick." Namun seiring perubahan akhirnya titelnya di ubah menjadi Casablanca. Dan menariknya, beberapa bagian draft naskah di buat ketika produksi film tengah berlangsung. Maklum saja banyak sekali penulis yang bergonta-ganti mengaduk cerita dalam naskah tersebut. Apa sesungguhnya yang membuat film ini menarik? Mari kita kupas secara perlahan.

Casablanca menceritakan tentang kehidupan pengungsi dari hampir seluruh belahan dunia yang bertempat di kota bernama Casablanca, Maroko. Karena infasi Jerman yang sudah menyebar, hampir kebanyakan mereka tak bisa pulang ke negara asalnya kecuali mempunyai visa yang tentu saja sangat sulit untuk di dapatkan. Di kota yang begitu jahat dan kelam ini terdapat sebuah bar yang dimiliki pengungsi asal Amerika Serikat bernama Rick Blaine. Film ini akan berfokus tentang konflik yang melanda kala itu, terbunuhnya 2 kurir Jerman yang membawa surat visa. Surat yang sangat di cari aparat itu berada di dalam kafe tersebut dan Rick mau tak mau harus menjaga surat itu. Awalnya Rick tak ingin menggunakannya, namun seseorang dari kehidupan lama Rick mendatanginya. Yaitu Ilsa Lund dan suaminya Victor Laszlo, seorang pejuang gerakan bawah tanah yang sangat dicari oleh pemerintah Jerman. Konflik yang melanda akan silih berganti dan latar tempat hampir kebanyakan di kafe Rick. Apa yang akan Rick lakukan? Apakah ia harus memberikan surat itu kepada Ilsa dan kabur dari Casablanca, atau ia memberikannya pada Victor untuk meneruskan perjuangan reformasinya.



Kisah dalam film ini sungguh di balut dengan indah. Beberapa kalian akan berfikir ini adalah film Romance. Namun di dalamnya, esensi film ini adalah mengenai tentang politik, War, maupun Drama yang begitu kental. Memang salut kepada penulisan cerita yang harus digodok sedemikian mungkin untuk mendapatkan perhatian dari publik. Latar yang di bangun di Casablanca yang begitu nyata sekaligus suasana film yang terkadang Noir ini sangat asik sekali. Sungguh typical film Hollywood pada masa jayanya. Penyutradaraan dari Michael Curtiz yang begitu rapi menjadi tak masalah untuk tiap-tiap scene sekaligus editing di dalamnya. Mungkin hanya efek saja yang masih kurang dan sangat di maklumi karena ini adalah film klasik. Soundtrack musik yang indah, penampilan dari masing-masing karakter dan figuran yang pas, semua sudah tersusun rapi.

Untuk ukuran kualitas film pada masanya, Casablanca mungkin tak mempunyai kekurangan yang begitu signifikan. Mungkin alur yang sedikit membuat jenuh menjadi salah satunya. Terkadang kita akan di suguhkan dengan beberapa scene yang terlalu klise. Beberapa pengambilan gambar yang tidak pas. Serta efek yang tak menarik. Tapi sekali lagi, itu tak jadi masalah. Namun, sesungguhnya keunggulan dari film ini menurut saya adalah dialog-dialognya. Saya jarang menemukan film yang mempunyai dialog yang begitu pintar dan asik karena pembawaan karakternya. Mungkin film-film Quentin Tarantino seperti Pulp Fiction adalah salah satunya. Tetapi Casablanca berada paling atas dalam jajaran film berdialog yang sangat menarik.


Film ini sedikit memberikan kita ending yang mungkin bisa di bilang sedikit "twist" namun juga tidak, yang jelas endingnya cukup klimaks dan disajikan dengan menarik. A+ untuk film Casablanca!

Senin, 27 Februari 2017

REVIEW FILM - NOCTURNAL ANIMALS (2016)

IMDB: 7.6/10
ROTTEN TOMATOES: 73% & 75%
Genre: Drama, Thriller


Director: Tom Ford
Written: Tom Ford (Screenplay), Austin Wright (Novel)
Cast: Amy Adams - Susan Morrow
         Jake Gylenhall - Tony Hastings/Edward Sheffield
         Michael Shannon - Bobby Andes
         Aaron Taylor-Johnson - Ray Marcus
         Isla Fisher - Laura Hastings
         Ellie Bamber - India Hastings
         Armie Hammer - Hutton Morrow

SAMARINDA -  Satu lagi film Amy Adams yang cukup menarik untuk di tonton selain Arrival di tahun ini. Nocturnal Animals sendiri mempunyai jajaran pemain yang sangat top di Hollywood, Jake Gylenhall, Michael Shannon, Isla Fisher, Armie Hammer, Amy Adams hingga Aaron Taylor-Johnson. Film ini sendiri mempunyai kritikan yang cukup positif dari beberapa kritikus ternama. Tom Ford, sang sutradara sebenarnya bukanlah sebuah sutradara murni karena ia adalah desainer fashion untuk produk ternama Gucci. Berangkat dari Fashion, ia pertama kali terjun ke dunia film dan menjadi sutradara untuk film A Single Man yang di perankan Colin Firth. Dan tentu saja, review postif yang di terimanya dari kedua filmnya membuat ia di yakini mempunyai potensi yang besar untuk menggarap beberapa film hebat di masa depan.

Nocturnal Animals menceritakan tentang Susan Morrow (Amy Adams) seorang seniman terkenal yang mengalami depresi berat akan kehidupannya. Di tengah-tengah keheningan hidupnya, si mantan suami Edward Sheffield (Jake Gylenhall) mengirimkan manuskript dari novel ciptaannya yang menceritakan kehidupan mereka di balut dengan kisah fiktif. Namun, setelah di sadari, novel itu sendiri adalah bentuk dari amarah, emosi yang terpendam dari Edward. Susan yang menyadari itu lambat laun terus memikirkan kembali kehidupan mereka berdua di masa lalu. Cerita ini sungguh simpel, ini adalah sebuah film tentang balas dendam yang di analogikan di dalam novel fiksi ciptaan Edward yang mempunyai kisah yang sangat kompleks. Di dalam cerita tersebut, seorang pria harus mencari pembunuh dan pemerkosa anak serta istrinya. Ini adalah sebuah cerita tentang balas dendam yang terselubung.



Dari jajaran casting dapat kita ketahui ini adalah sebuah film yang epic. Ya memang benar, film ini asik untuk kalian nikmati namun tetap harus fokus kepadanya. Balutan tone warna yang gelap membuat mood kita menjadi emosi ketika menonton ini, apalagi arahan sutradara dari Tom Ford mengenai konflik-konfliknya yang tajam semakin asik untuk di nikmati. Alur cerita yang di buat maju mundur dan disisipkan selingan cerita dalam novel juga membuat penonton terarah dan tidak kebingungan dengan film ini. Backsound yang mencekam dan terkadang tenang serta sudut-sudut pengambilan gambar yang pas juga ada dalam film ini. Kekuatan sebenarnya dalam film ini adalah cerita dan akting dari pemain-pemainnya. Aaron Taylor-Johnson dan Michael Shannon menjadi juaranya dan berhasil mengambil perhatian tiap scenenya.

Kekurangan dari film ini pun juga ada. Ending yang cukup anti-klimaks membuat penonton geram walaupun kita memahami maksud dari film tersebut. Penyampaian pesan dan makna cerita yang sedikit kabur juga kurang karena terlalu banyak momen-momen thriller disitu. Mungkin dalam film ini, Amy Adams dan Jake Gylenhall kurang menggunakan kemampuan mereka. Mereka bahkan kalah bersinar dari pemeran pendukung. Tetapi itu cukup saja di maklumi karena pelatar belakangan cerita yang sedikit kurang informatif. Cukup banyak karakter yang di sia-siakan begitu saja membuat mereka jadi tak menarik perhatian di film ini. Walaupun seperti itu, dari sudut sinematography mungkin film ini kalah menarik dari Manchester by The Sea ataupun film lainnya. Tapi bisa di bilang, ini salah satu film thriller terbaik di tahun 2016.



Secara keseluruhan, film ini memang kurang menjual. Namun tetap menarik jika kalian menonton ini dengan ketulusan dan keseriusan. Rating B untuk Nocturnal Animals.

REVIEW FILM - HACKSAW RIDGE (2016)

IMDB: 8.3/10
ROTTEN TOMATOES: 86% & 92%
Genre: Drama, History, War


Director: Mel Gibson
Written: Robert Schenkkan & Andrew Knight (Screenplay)
Cast: Andrew Garfield - Desmond Doss
         Teresa Palmer - Dorothy Schutte
         Hugo Weaving - Tom Doss
         Nathaniel Buzolic - Hall Doss
         Rachel Griffiths - Rachel Doss
         Luke Bracey - Smitty Ryker
         Vince Vaughn - Sgt Howell
         Sam Worthington - Captain Glover
         etc

SAMARINDA - Semua orang pasti sudah kenal dengan Mel Gibson. Aktor dan sutradara hebat yang sangat kontroversial ini mulai kembali mendapat perhatian positif karena film Hacksaw Ridge. Film ini masuk dalam 6 kategori nominasi oscar dan memenangkan 2 dalam kategori Best Achievment Film Editing & Best Achievment Sound Editing. Walaupun Mel Gibson gagal meraih penghargaan Best Director namun sepertinya tidak menjadi masalah mengingat kualitas dari film ini yang akan terus dikenang oleh penonton. Andrew Garfield yang di dapuk sebagai pemeran utama juga berhasil menunjukan performa terbaiknya. Mantan pemain Spider-Men ini mulai melihatkan kualitasnya dalam seni peran. Di umur yang masih di bilang cukup muda, ia berhasil menjadi memberikan kontribusi yang besar di dalam alur dan cerita film ini.

Film ini berceritakan tentang legenda perang dunia kedua bernama Desmon T. Doss (Andrew Garfield) yang menolak untuk membawa senjata. Dirinya termotivasi untuk menjadi paramedic dan berusaha menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin ketimbang membunuh. Walaupun hal ini awalnya sangat di tentang dan menjadi permasalahan selama di akademi, semua di jalaninya dengan penuh keyakinan dan membawakannya kepada penghargaan tertinggi di militer. Awal mula cerita, kita di suguhkan dengan kehidupan Desmond ketika masih kecil yang mempunyai Ayah seorang veteran perang. Hidup dengan Ayah yang tegas membuat ia menjadi pribadi yang kokoh dan tegar akan keyakinannya. Kehidupan dewasanya pun semakin menarik ketika ia jatuh cinta dengan seorang suster bernama Dorothy Schutte (Teresa Palmer). Kemudian ia yang semakin termotivasi untuk menjadi seorang tentara dan kisah heroiknya pun di mulai.



Film ini mempunyai struktur tangga dramatic yang menarik. Penonton di sajikan dengan 3 latar yang mengantarkan perjalanan Desmond. Pertama kehidupannya di kampung bersama keluarga dan kekasihnya, kedua kehidupan ia selama di camp training yang amat sulit dan penuh konflik dan yang terakhir ketika di medan perang yang akan mengubah takdirnya selamanya. Sutradara berhasil membangun cerita dan mendeskripsikan sebaik mungkin perjalanan sejarah Desmond. Mulai dari bumbu drama dan romantis yang di selipkan di dalamnya, dan konflik-konflik yang ada di markas latihan seperti film Full Metal Jacket. Selama scene di medan perang pun yang paling menarik perhatian saya. Kalian akan di suguhkan adegan yang cukup berdarah layaknya Saving Private Ryan yang sekaligus tetap menjaga drama continuity-nya.

Aktor utama sekaligus figuran disini sangat terpadu dengan rapi. Tidak ada yang jelek dan tidak ada yang terlalu mencolok perhatian. Hugo Weaving, Teresa Palmer, Sam Worthington memainkan karakter mereka dengan pas dan tepat. Tetapi sepertinya Luke Bracey dan Vince Vaughn disini yang bisa di bilang "sedikit" mengambil perhatian penonton. Luke Bracey adalah aktor baru yang sebelumnya terkenal dalam film Point Break reboot dan Vince Vaughn yang keluar dari zona nyamannya sebagai aktor komedian. Namun tetap Andrew Garfield disini yang berperan aktif. Walaupun ia kalah dari Casey Affleck (Manchester By The Sea) di ajang oscar namun penampilannya cukup mengagumkan melihat rentetan karirnya yang dahulu berperan sebagai karakter-karakter yang kurang oscar worthy.



Bagaimanapun juga, selalu ada kekurangan. Tidak ada yang 100% sempurna di dunia ini. Film ini kurang mengupas kefaktualan informasi yang ada di dalamnya. Sutradara Mel Gibson mengakui ada beberapa adegan yang harus tidak di masukan, mengingat ketakutan akan penonton yang merasa terbohongi. Serta chemistry Andrew dan Teresa yang kurang di bangun membuat kesan romantis di dalamnya menjadi hambar. Overall, film ini tetap menarik dan memang pantas masuk nominasi Best Motion Picture. A- rating untuk film ini!

Sabtu, 25 Februari 2017

REVIEW FILM - THE EDGE OF SEVENTEEN (2016)

IMDB: 7.5/10
ROTTEN TOMATOES: 95% & 85%
Genre: Comedy, Drama

Director: Kelly Fremon Craig
Written: Kelly Fremon Craig
Cast: Hailee Steinfield - Nadine
         Haley Lu Richardson - Krista
         Blake Jenner - Darian
         Kyra Sedgwick - Mona
         Woody Harrelson - Mr. Bruner
         Hayden Szeto - Erwin
         Alexander Calvert - Nick Mossman
         etc

SAMARINDA - Masa remaja adalah masa-masa yang menyenangkan bagi beberapa orang. Dimana masa itu adalah masa mencari jati diri, menanam impian di masa depan atau bahkan menemukan cinta sejati. Memang, masa remaja menyenangkan. Tapi tidak bagi Nadine. Karakter dari film ini. Film The Edge of Seventeen menceritakan tentang kehidupan remaja seorang wanita bernama Nadine yang harus bergelut dengan kejadian-kejadian di sekitarnya yang sangat-sangat rumit. Mulai dari kematian ayahnya, perkelahian dengan sahabatnya hingga kejadian konyol yang ia lakukan karena terbawa emosi. Film ini bergenre komedi sekaligus drama, dan di sutradari sekaligus ditulis oleh Kelly Fremon Craig. Sebelumnya ia adalah penulis naskah untuk film Post Grad, dan ini adalah film pertamanya yang ia sutradarai. Sungguh awalan yang baik untuk pertama kali, karena ia berhasil memainkan alur yang baik serta penggambaran cerita yang tersusun rapi. Di dukung dengan pemain papan atas seperti Woody Harrelson, Kyra Sedgwick dan Hailee Steinfeld maka tak salah jika film ini banyak di nikmati oleh para penonton dan kritikus diluar sana.

Film ini bermula dengan adegan Nadine (Hailee Steinfield) yang sedang curhat dengan gurunya Mr. Bruner (Woody Harrelson). Kemudian dengan kilasan balik adegan-adegan yang menceritakan tentang kehidupan Nadine mulai dari dia kecil sampai saat dia dewasa sekarang. Mulai dari kecil Nadine sudah berfikir bahwa dia adalah anak yang berbeda. Saudaranya, Darian bisa di bilang lebih di sayang oleh ibunya. Namun, ayahnya lebih menyukai Nadine. Namun, ayahnya sendiri harus meninggal karena penyakit yang di alaminya. Sahabat satu-satunya Nadine adalah Krista (Haley Lu Richardson) dan itupun mereka harus bertengkar karena Krista dan Darian (Blake Jenner) berkencan. Begitu banyak konflik-konflik yang dimunculkan dan perlahan tapi pasti,mengubah persepsi Nadine tentang arti "Sweet Seventeen" selama ini.



Dari awal sampai selesai cerita, saya disuguhkan dengan tontonan yang sangat menghibur. Bukan hanya dari segi cerita saja, namun dari karakter masing-masing yang begitu menarik. Film ini mempunyai kelebihan yaitu penggambaran konflik yang menarik dan sesuai untuk film remaja. Hailee Steinfield benar-benar sangat bagus memerankan karakter Nadine. Ia berperan sebagai remaja yang labil, di kuasai egoisnya dan merasa paling benar di dunia ini. Belum lagi karakter-karakter pendukung yang sama baiknya memerankan diri mereka. Dan juga, aku suka sekali dengan film yang mempunyai dialog yang pintar. Kelly Fremon Craig sungguh pintar dalam menulis cerita ini, dialog-dialog sarkas antar pemain, bahkan momen-momen canggung yang disusun dalam tiap adegan membuat saya tersenyum aneh namun suka karena menonton ini.

Mungkin dari beberapa hal diatas yang tidak terlalu saya sukai adalah soundtrack dan editing dari film ini. Beberapa cut-to-cut yang tak rapi serta pengisian backsound yang kurang menurut saya membuat terkadang sedikit jenuh. Namun semua itu bisa di selamatkan dengan total secara keseluruhan. Woody Harrelson mempunyai peran yang sangat sedikit, namun tetap berhasil memerankan karakternya. Untuk karakter Darian dan Krista mungkin sedikit kurang dalam menumbuhkan bumbu chemistry mereka terhadap karakter Nadine. Film ini sendiri berhasil mengantarkan Hailee Steinfield mendapatkan nominasi pada Golden Globe sebagai aktris favorit, Walaupun ia gagal memenangkannya tetapi setidaknya itu adalah prestasi karena di usia mudanya Hailee Steinfield juga pernah masuk nominasi Oscar atas perannya dalam film True Grit.



Overall, film ini sangat menarik untuk di nikmati oleh semua kalangan usia. Dimanapun kalian menontonnya, bersama siapapun kalian menyaksikannya maka itu tak jadi masalah. Film ini bercerita tentang kehidupan Nadine yang harus mengalami masa berat dan persepsinya tentang dunia remajanya. Film ini juga ada unsur romantisnya walaupun sedikit dan yang jelas humor-humor segar ala remaja juga ada disana. Ini adalah film berkualitas. Rating B+ sangat cocok! Enjoy it!

Rabu, 22 Februari 2017

REVIEW FILM - MANCHESTER BY THE SEA (2016)

IMDB: 8.1/10
ROTTEN TOMATOES: 96% & 81%
Genre: Drama

Director: Kenneth Lonergan
Written: Kenneth Lonergan
Cast: Casey Affleck - Lee Chandler
         Michelle Williams - Randi
         Kyle Chandler - Joe Chandler
         Lucas Hedges - Patrick
         C.J. Wilson - George
         etc

SAMARINDA - Sebelum nama film ini masuk dalam nominasi ajang Oscar 2017, saya sudah sangat mengantisipasi film ini. Bukan karena nama sutradara dan jajaran castingnya yang menarik, tetapi nama Casey Affleck seorang yang bikin saya penasaran. Apa lagi setelah mengetahui bahwa ia mendapat nominasi sebagai pemain utama terbaik sekaligus film ini masuk sebagai nominasi best motion picture. Film ini berlatar di kota bernama Manchester By The Sea, sesuai dengan judul filmnya yang sangat menarik. Awal mula Matt Damon di gadang-gadang untuk menjadi sutradara sekaligus pemeran utama. Dengan menggunakan naskahnya dan John Krasinski, akhirnya Matt melepaskan film ini kepada Kenneth Lonergan (Di karenakan jadwal yang padat.). Sepupu Matt sendiri akhirnya di dapuk menjadi pemeran utama dan Matt Damon sebagai produser.

Film ini bercerita tentang seorang pria bernama Lee Chandler (Casey Affleck) yang harus merawat keponakannya setelah sang ayah meninggal (Kyle Chandler). Hubungan antara keponakan dan paman sangat abstrak di jelaskan disini. Karena film ini sendiripun keseluruhan bukan mengenai tentang hubungan mereka. Melainkan tentang reaksi Lee yang harus kembali ke kampung halamannya tersebut. Di hantui oleh trauma masa lalu, Lee sendiri harus bergelut dengan dirinya sendiri menghadapi kenyataan ini. Apa lagi ketika ia bertemu dengan mantan istrinya, Randi (Michelle Williams).



Untuk sebuah plot yang sederhana dan menggunakan premis yang umum, cerita ini seharusnya tak menarik. Namun ini adalah sebuah masterpiece. Di jaman sekarang yang banyak di penuhi film action dan superhero, Manchester By The Sea membawa kita kembali pada jaman-jaman di mana sebuah film di nilai dari sebuah cerita sekaligus akting yang ciamik. Tak salah jika film ini mendapatkan nominasi yang setimpal. Banyak sekali kelebihan dalam film ini, mulai dari sinematografi yang indah, pengambilan gambar tentang sudut-sudut kota yang tenang. Latar belakang di musim salju yang di gambarkan dengan pas. Serta tak kalah ketinggalan soundtrack musik yang di pakai kebanyakan adalah instrumen. Sungguh tepat sekali. Namun, yang paling menarik adalah akting dari masing-masing karakter. Menurutku film ini berhasil dalam jajaran castingnya, mulai dari yang utama hingga figuran. Casey Affleck, Lucas Hedges, dan Michelle Williams masing-masing membawakan karakternya dengan baik. Walaupun Michelle Williams hanya mendapatkan menit yang sedikit, namun ada suatu adegan yang sangat intens sekali ia perankan. Lucas Hedges sendiri berhasil memerankan sebagai Patrick (Keponakan Lee). Pria remaja yang sedang labil dalam masalah cinta dan emosinya.



Namun, yang paling sangat jempolan adalah performa Casey Affleck. Ia dan saudaranya Ben Affleck kini adalah para aktor yang sangat ternama di Hollywood. Walaupun terkadang karirnya sendiri naik-turun dan jarang mendapatkan peran besar, di film ini ia berhasil membuktikan dirinya bahwa bukan hanya Ben Affleck yang ada di perfilman Hollywood, tetapi juga dirinya. Sedikit kekurangan dalam film ini adalah properti yang cukup simpel dan sempitnya gambaran luas tentang latar yang di gambarkan. Terkadang, ada kalanya kita jenuh dengan menonton ini. Tempo yang cukup lambat dan adegan kilas balik yang di edit secara kasar (mungkin sengaja) pasti akan membuat penonton kebingungan. Namun, overall itu tak masalah bagi saya.

Jika banyak sekali orang yang hype dengan La La Land maka saya sendiri lebih menyukai Manchester By The Sea. Sebuah penggambaran simpel tentang perubahan emosi manusia di kala sebelum dan pasca trauma dan konflik dalam memerangi ego dirinya sendiri. Overall, A- untuk rating film ini!

Selasa, 21 Februari 2017

REVIEW FILM - PASSENGERS (2016)

IMDB: 7.0/10
ROTTEN TOMATOES: 31% & 66%
Genre: Adventure, Drama, Romance

Director: Morten Tyldum
Written: Jon Spaihts
Cast: Jennifer Lawrence - Aurora Lane
        Chris Pratt - Jim Preston
        Michael Sheen - Arthur
        Laurence Fishburne - Gus Manuco
        Andy Garcia - Captain Norris
        etc

SAMARINDA - Bagaimana rasanya jika kau terbangun sendiri, di dalam sebuah kapal luar angkasa, dimana para manusia lain masih tertidur dalam sleeping pod dan kau harus menyelamatkan mereka karena kapal kalian akan hancur? Sebuah plot yang cukup menarik, mengingat film sci-fi luar angkasa ini bukan mengenai tentang alien ataupun makhluk seram lainnya. Film ini mengingatkanku pada The Martians maupun Gravity. Walaupun ini tidak se-survival Gravity dan tak terlalu adventure seperti The Martians tapi film Passengers cukup menarik dan asik di tonton. Mengandalkan duet idaman yaitu Jennifer Lawrence dan Chris Pratt, film ini mampu menyelamatkan keterpurukannya dalam Box Office. Mari kita simak plot, serta kelebihan dan kekurangan dari film ini!

Film ini bersetting di masa depan, ketika manusia menemukan sebuah planet baru bernama Homestead II dan terjadi imigrasi besar-besaran menggunakan kapal luar angkasa Avalon. 5000 penumpang dan 258 kru awak kapal berada disana. Namun, karena sebuah benturan meteor, sebuah kesalahan sistem membangunkan penumpang yang bernama Jim Preston (Chris Pratt). Di kala tidur panjangnya ia malah terbangun terlebih dahulu sebelum penumpang lainnya. Semua hal sudah di lakukannya untuk memperbaik sleeping pod tersebut namun masih juga tak berhasil. Pada ujung depresinya, ia menemukan sleeping pod wanita bernama Aurora Lane (Jennifer Lawrence) seorang jurnalis muda yang sangat ambisius. Ia pun karena merasa lelah sendiri, akhirnya mau tak mau menyabotase kapsul tidur Aurora dan membangunkannya. Mereka berdua pun kini adalah satu-satunya penumpang yang terbangun disana.


Oke, kelebihan di film ini tentu saja sudah pasti bisa di tebak. J-Law dan Chris Pratt menampilkan performa terbaik mereka. Selain akting mereka yang sudah sangat teruji dengan film-film mereka sebelumnya, chemistry diantara mereka sungguhlah jempolan. Chris memerankan seorang insinyur yang depresi. Alasan ia meninggalkan bumi karena ia ingin lebih berkembang dan lebih berguna di planet baru tersebut. Ia mampu membawakan emosi karakter yang di ciptakan. Tingkah laku konyolnya pun tak juga ketinggalan, sebuah adegan humor-humor segar serta adegan romantis canggung yang ia bawakan berhasil menjadi penarik untuk film ini. Untuk Jennifer Lawrence sendiri sudah tak usah di ragukan lagi. Peraih 1 Oscar dan 3 nominasi ini sudah sangat berjaya di Hollywood belakangan ini. Tingkat akting yang di bawakannya sama seperti peran-peran sebelumnya. Namun yang menarik disini ia bukanlah fokus utama dalam film Passengers. Walaupun ia adalah karakter protagonis, namun menurut saya penampilannya masih terbayangi Chris Pratt. Tapi, untuk beberapa adegan, ia tetap berhasil membawa emosi penonton. Ada satu scene yang menurut saya sangat sederhana namun membuat saya merinding, yakni kala emosi mereka berdua akhirnya terkalahkan oleh cinta.

Untuk kekurangan dari film ini? Sangat susah untuk melihat kerendahan kualitas sebuah film. Mulai dari penulisan cerita, mungkin sedikit klise namun tak menjadi masalah karena cerita ini terfokus pada romansa mereka berdua. Untuk setting dan latar tempat sungguh bagus, tak bisa dicela. Penggarapan film ini pun terhitung standar, sutradara Morten Tyldum berhasil membawakan film dengan pintar, editing serta tone yang pas juga cukup baik. Walaupun film ini tidak se-masterpiece karyanya sebelumnya, yaitu Imitation Game. Untuk pemeran pembantu mungkin bisa di bilang kurang. Peran Michael Sheen sebagai android bernama Arthur menurut saya pas. Namun peran Laurence Fishburne dan Andy Garcia yang begitu...meh? membuat saya sedikit geram. Pasalnya mereka berdua harusnya mampu mengantarkan cerita ini menjadi lebih sedikit menarik. Ya Laurence Fishburne lebih banyak waktu disini ketimbang Andy Garcia. Tapi semoga itu tidak menjadi masalah.


Film ini adalah sebuah popcorn movie. Menyenangkan untuk kalian simak bersama teman-teman kalian sambil bersantai. Ataupun bersama pasangan anda. Karena notabene ini adalah film Drama + Romance. Tidak ada kekurangan yang terlalu besar untuk film ini dan tak ada kelebihan yang spesial untuk film ini. Rating B cocok untuk film ini sebagai pelipur lara kalian. Dan cukup rekomendasi!

Selasa, 14 Februari 2017

REVIEW FILM - RUBY SPARKS (2012)

IMDB: 7.2/10
ROTTEN TOMATOES: 78% & 75%
Genre: Drama, Romance, Fantasy

Director: Jonathan Dayton, Valerie Faris
Written: Zoe Kazan
Cast: Paul Dano - Calvin
         Zoe Kazan - Ruby Sparks
         Chris Messina - Harry
         Annette Bening - Gertrude
         Antonio Banderas - Mort
         Steve Coogan - Langdon Tharp
         Elliot Gould - Dr. Rosenthal
         etc

SAMARINDA - Karena kebetulan kemarin adalah Hari Valentine, maka saya akan mencoba memposting salah satu film romansa favorit saya. Oh, ya ini bisa di bilang bukan film yang terlalu romance seperti The Notebook ataupun Titanic, tapi ini adalah film tentang cinta. Film Ruby Sparks sendiri di sutradarai oleh duo Jonathan Dayton & Valerie Faris yang sebelumnya sukses dengan film drama komedi Little Miss Sunshine. Walaupun film ini tak se-masterpiece Little Miss Sunshine namun Ruby Sparks sendiri mempunyai bobot cerita yang tak kalah menarik dan rekomendasi untuk kalian para movie enthusiast di luar sana.

Film ini bercerita tentang seorang penulis bernama Calvin yang diperankan oleh Paul Dano yang sedang mengalami gejala writerblock atau kesulitan mencari bahan tulisan (Penyakit umum penulis). Di tengah kesuksesannya sebagai penulis muda yang berbakat, namun ia memendam kesedihan karena kehidupannya yang begitu sunyi apalagi pasca di putus dengan mantan kekasihnya. Ia akhirnya menuliskan tentang seorang wanita idaman dalam tulisannya yang ia gambarkan begitu nyata, begitu sempurna baginya dan membuat ia menjadi semangat lagi menulis. Namun semua menjadi semakin aneh ketika wanita dalam cerita tersebut menjadi kenyataan. Awal mula yang canggung dan sangat membingungkan akhirnya di tepis oleh Calvin dengan mencoba beradaptasi dengan wanita bernama Ruby Sparks itu. Namun lambat laun, Calvin menyadari bahwa bukan wanita itu yang ia cari selama ini. Ruby Sparks hanyalah sebuah karakter dalam ceritanya saja. Ia dapat mengubah sifat dan tingkah laku wanita itu sesuka hatinya dengan menuliskan cerita baru dalam novelnya.



Film ini bertema sebuah fantasi dimana seorang penulis yang patah hati berimajinasi tentang wanita idamannya yang menjadi  nyata dalam sebuah tulisan. Tema yang menarik ini sungguh sangat unik. Apalagi melihat perubahan moral yang dialami Calvin ketika Ruby Sparks muncul dalam hidupnya. Ia menjadi pria posesif, egois terhadap tokoh wanita itu. Paul Dano sekali lagi berhasil mencuri perhatian. Ia adalah salah satu aktor yang underrated di Hollywood. Namun semua sudah tau apa kemampuan aktingnya, bahkan di film There Will Be Blood ia mampu mengimbangi kharisma Daniel Day Lewis.

Sekali lagi, ini bukanlah film yang terlalu romansa. Ini adalah film mengenai tentang cinta. Dimana cinta itu dapat mengubah kepribadian seseorang, entah itu menjadi lebih baik atau lebih buruk. Penggambaran karakter serta penguatan cerita menjadi tumpuan utama dalam film ini. Akting Zoe Kazan sebagai Ruby Sparks pun mampu mencuri tiap scene yang di tampilkan. Serta jajaran pemeran pembantu lainnya juga di tambahkan dengan baik menjadi "bumbu penyedap" dalam film ini. Tidak ada kemubaziran dalam film Ruby Sparks.



Hanya saja mungkin beberapa penonton akan sedikit di buat jenuh dengan adegan-adegan yang bisa membuat anda menguap serta beberapa dialog yang terlalu corny. Kekurangan dari film ini tak terlalu banyak kok. Film ini tetap kuat dalam penggambaran ceritanya. Ini adalah film romansa cerdas, bagi kalian yang berharap untuk terpukau dengan adegan romance mungkin saranku jangan menonton film ini. Karena bukan ini tujuan utama dari film Ruby Sparks.
Overall, film ini cocok di beri rating B.